Studi Sebut Berada di Rumah Bersama Anak Jauh Lebih Sulit Ketimbang Bekerja di Kantor 

Psikolog Kasandra Putranto.

Bagi sebagian orang tua, tinggal di rumah bersama bayi yang baru lahir terdengar seperti liburan jika dibandingkan dengan jam bekerja kantoran yang dimulai pada pukul 9 pagi hingga 5 sore pada umumnya.

Namun, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pergi bekerja sebenarnya merupakan pilihan yang lebih mudah ketimbang harus berada di rumah bersama buah hati. 

Studi yang melibatkan 1.500 orang tua di Inggris ini menyoroti berbagai aspek tantangan yang dihadapi oleh orang tua baru. Sebanyak 31% dari responden menyatakan bahwa tinggal di rumah bersama anak-anak lebih sulit daripada kembali bekerja di kantor. Hasil ini menggambarkan kompleksitas peran orang tua di rumah dan mungkin mengubah persepsi umum mengenai kehidupan orang tua.

Jajak pendapat ini mengungkapkan berbagai perasaan dari orang tua baru secara nasional. Beberapa pernyataan menarik seperti sebagian besar makanan akan dikonsumsi dengan satu tangan, fungsi dengan tidur empat jam, dan tantangan lainnya memberikan gambaran nyata mengenai tantangan sehari-hari yang dihadapi orang tua yang tinggal di rumah.

Studi ini juga menyoroti dampak media sosial dan pola asuh terhadap persepsi orang tua baru. Sebanyak 71% responden merasa lebih kompetitif dalam menjalani kehidupan baru mereka karena kombinasi media sosial dan pola asuh. Seiring dengan itu, 22% menganggap tekanan untuk menjadi orang tua yang sempurna semakin meningkat akibat platform sosial.

Meskipun sebagian orang tua baru menggambarkan perjalanan mereka sebagai pengalaman sempurna, penelitian ini menegaskan bahwa memulai sebuah keluarga adalah kerja keras seumur hidup. Hasil ini mengajak untuk lebih memahami dan menghargai peran orang tua, terlepas dari pilihan mereka untuk bekerja di kantor atau tinggal di rumah bersama anak-anak.

Untuk di Indonesia sendiri, menurut Psikolog Klinis, Kasandra Putranto survei tersebut tentu tidak bisa disamakan dengan yang ada di Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia, khususnya wanita sudah terbiasa mengurus banyak pekerjaan. 

“Menurut saya berbeda. Kalau di Indonesia, perempuan justru sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga, bahkan sejak kecil sebagian besar anak perempuan (dan laki-laki) Indonesia sudah terbiasa untuk mengurus adik-adik dan urusan domestik lainnya. Dikarenakan orang tua mereka sibuk bekerja,” kata Kassandra melalui sambungan telepon. 

Dalam arti, jika seorang wanita yang telah menikah memutuskan sebagai working mom, tentu para ibu ini akan komitmen dengan pilihannya tersebut. Sekalipun beberapa memilih untuk menjadi full time mom, atau ibu rumah tangga mereka tetap fokus pada pilihannya itu. Meski, tidak sedikit yang mengeluh lelah namun hal itu masih dalam batas wajar. Ketika anak-anak mulai besar, mereka pun sudah terbiasa menjaga saudara yang lebih kecil dikarenakan orang tua yang sibuk bekerja. 

“Buat orang Indonesia mengurus anak/adik/kakek nenek/orang tua adalah hal yang mulia. Bahkan ada yang sambil bekerja. Seberat apapun akan dijalankan,” tambahnya. 

Meski demikian, berkaca dari survei di Inggris dalam kasus di Indonesia juga ditemukan meskipun tidak terbuka secara gamblang. Menurut Kassandra, masalah stay home mom yang mengurus anak dan rumah tangga, kemungkinan masih harus bergulat dengan tekanan akibat masalah fisik belum pulih setelah melahirkan, berbagai tekanan sosial emosional, serta bekerja sendiri di rumah. 

“Belum lagi ditambah masalah konflik dengan suami, keluarga besar dan masyarakat di sekitar,” sambungnya. 

Namun, kejadian tersebut bisa terangkat ke media jika terjadi di kota-kota besar. Sementara di wilayah daerah, seperti pelosok, banyak wanita yang harus berperan ganda mengurus rumah tangga sekalipun pekerjaan lain. 

Menurut Kassandra, para wanita di Indonesia ini cenderung kuat mental sedari dulu. Juga semua itu kembali ke mindset masing-masing ibu pekerja tersebut. 

“Mau kerja atau tidak bekerja, menikah atau tidak menikah, bekerja sambil berkeluarga, kalau dibawa enteng ya enteng, kalau dibawa susah ya jadi susah,” tandas Kasandra. 

Untuk perilaku anak sendiri pun menurut Kasandra bagaimana keterlibatan kedua orang tua mereka itu sendiri. Meski ada beberapa anak yang memiliki perilaku kurang baik, tetapi banyak anak yang berhasil sukses sekalipun dididik oleh ibu pekerja. 

Ini Alasan Ibu Pekerja Merasa Tertantang Tinggal di Rumah Bersama Anak, Ketimbang Bekerja di Kantor

Menghadapi tantangan antara pekerjaan dan kehidupan berkeluarga menjadi kenyataan yang saat ini terjadi umum di kalangan para orang tua. Tidaklah mengherankan jika hal ini menjadi perdebatan hangat, terutama bagi mereka yang berupaya sebaik mungkin menyeimbangkan kedua aspek tersebut. 

Dalam perbincangan online, pendiri ‘Imperfect Alignment’, Sarah Torresan, memunculkan pandangan menarik mengenai perbandingan antara pergi bekerja dan tinggal di rumah bersama anak-anak.

Menurut Torresan, pergi bekerja jauh lebih mudah dibanding tinggal di rumah bersama anak-anak, meskipun banyak orang beranggapan sebaliknya. Pernyataan ini dibuatnya melalui platform TikTok, di mana videonya telah disaksikan oleh hampir 90 ribu orang. Dalam klip tersebut, Torresan memaparkan pengalamannya sebagai ibu rumah tangga yang juga bekerja.

Pada hari-hari kerjanya, Torresan merasa lebih mudah untuk menangani rutinitas harian, seperti melakukan perjalanan dengan kereta, menikmati waktu sendirian dengan mendengarkan podcast atau musik, dan berinteraksi dengan rekan kerja. Disisi lain, ia menyoroti betapa sulitnya menjadi ibu rumah tangga yang harus menghadapi tantangan dan kebutuhan keluarga setiap saat, tanpa adanya momen relaksasi atau kesendirian.

Torresan juga mengajukan pertanyaan yang menarik mengenai prioritas tidur, apakah orang tua yang bekerja di pagi hari atau yang tinggal di rumah seharusnya lebih diutamakan. Hal ini mencerminkan realitas bahwa kehidupan orang tua tidak selalu mudah, terutama ketika harus memutuskan antara berbagai tanggung jawab.

Tantangan Hidup Sebagai Orang Tua yang Tinggal di Rumah

Pandangan Torresan mencerminkan pemahaman bahwa hidup sebagai orang tua yang tinggal di rumah dapat lebih kompleks dan menantang dibandingkan dengan bekerja di luar rumah. Selama berhari-hari bersama anak-anak, komunikasi manusiawi normal bisa menjadi langka, dan tuntutan sehari-hari selalu ada. Konflik dan kebutuhan terus-menerus menghadang, menimbulkan tingkat stres yang lebih tinggi.

Dalam konteks ini, data dari Pew Research Center menunjukkan bahwa sebagian kecil ayah (7%) dan sekitar seperempat ibu (28%) memilih untuk menjadi orang tua yang tinggal di rumah. Meskipun dapat memberikan kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan anak-anak, gaya hidup ini juga bisa menimbulkan perasaan kesepian dan kelelahan fisik serta emosional.

Menyikapi tantangan ini, organisasi seperti Healthy Children menekankan pentingnya bagi orang tua untuk merawat diri mereka sendiri. Menemukan waktu untuk perawatan diri dapat membantu mengisi ulang energi dan menciptakan kehidupan yang bahagia, yang juga berdampak positif pada anak-anak.

Pilihan Hidup Antara Bekerja dari Kantor atau Tetap di Rumah?

Dalam pandangan Torresan, bekerja di kantor memberikan kesempatan untuk waktu pribadi dan percakapan dewasa yang kurang mungkin terjadi ketika tinggal di rumah. Namun, data dari FlexJobs mengungkapkan bahwa mayoritas orang tua (61%) lebih memilih bekerja secara remote, sementara 37% mendukung model kerja hybrid.

Meskipun tantangan hadir dalam berbagai bentuk, menjadi orang tua yang bekerja memerlukan keterampilan mengelola stres dan tanggung jawab yang banyak. Hal ini mendorong Torresan untuk mendirikan ‘Imperfect Alignment’ dan ‘Working Mum Academy’, yang menyediakan panduan bagi para ibu yang bekerja untuk mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik.

Tips dari Sarah Torresan untuk Para Ibu yang Bekerja

Dalam wawancara dengan Bored Panda, Torresan berbagi beberapa tips bagi para ibu yang bekerja:

1. Prioritaskan Kebutuhan Pribadi

Menempatkan diri sebagai prioritas membuat Anda menjadi orang tua yang lebih baik. Keseimbangan yang baik antara perhatian pada diri sendiri dan kebutuhan anak-anak menjadi kunci kebahagiaan.

2. Dukungan Sosial adalah Kunci

Dalam keluarga yang berpasangan, pembagian tugas rumah tangga dan dukungan mental menjadi penting. Ini menciptakan lingkungan yang seimbang dan tanpa tekanan.

3. Perkembangan Diri Tidak Ada Batas

Torresan mengingatkan bahwa perkembangan diri tidak perlu terhenti setelah menjadi orang tua. Sebaliknya, menjadi versi terbaik dari diri sendiri memberikan manfaat positif, baik untuk diri sendiri maupun anak-anak.

Dengan pandangan dan pengalaman pribadinya, Sarah Torresan memberikan wawasan berharga bagi para orang tua yang berjuang mencari keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga. Bagaimanapun juga, pilihan antara bekerja di kantor atau tetap di rumah tetaplah menjadi keputusan pribadi yang harus dipertimbangkan dengan cermat.

Scroll to Top